[ENGLISH]
Archives and Realities – Indonesia today
​
Indonesia is the first South East Asian country that owns a cinematheque, a film archive institution, named Sinematek Indonesia (SI) in 1975. Its collection including magazines, books, film scripts, posters, window sheets, and photos from various sources. One year later, in 1976, Literature Documentation Center H. B. Jassin was built, another important institution for cultural archiving.
The presence of these two non-profit institutions is notably as the forerunner in handling, documenting, and archiving of art and culture in many forms of medium in Indonesia. This initiation will be a very long, never-ending work, as the archive is omnipresent yet temporary, it preserves the realities of the past and at the same time, shapes the present, and affects the future. With the facts of both institutions are now neglected, running with almost zero monthly operational budget, lack of professional human resources, unpaid employees, messy and unorganized archives, to almost zero visitors every month, every year, these cause the lifespan of archives is getting shorter, dying and threatened.
Then, what kind of activation can we try to make archives being accessible for the public, in the meanwhile, National Archive of Republic Indonesia (ANRI) is trading them not for free? What kind of role is State Film Company (PFN) doing, to abandon film vaults with thousands of film reels and cans for almost twenty years, in which they are all valuable state archives? How do archives and their objects translate historical realities into contemporary narratives? What is the signification of archives, for their users, technologies, and knowledge production? These only can be answered by seeing what is happening today.
Speaking of the archive, surely we can’t skip the method of production in the productivity of each era. In the era of analog, other than features and documentaries production, 16mm and 8mm camera were accessible for public, they could create the experimentation of shorts, home video, experimental moving images, and animation. Right after the black and white, experimental, avant-garde moving image days, we were celebrating the early new age of technology. Here comes the videotape era until better digital images industry progresses rapidly by the era of the smartphone. With the additional support of social media platform, instant video apps, and the internet, in any time we could easily see everyone is showcasing their creativity to outsmart, make fun, and enjoy everyday life. The objects in the documentation and home video are basically not really changing today, everyday social life, family, and friends are still being the favorite contents. Is it caused by the more related we are, the more we can appreciate it? This is such an extension of entertainment and documentation, as a performance, video art, yet money maker.
So, which comes first, art or culture? Which one is more valuable, creativity, knowledge production, or money? Which one is more relatable, trend, tradition, or modernity? – In fact, all traditions are once modern in the beginning.
​
What can archives do for our society today?
As it reflects and preserves the past, we might romanticize the archive to time travel and have a nostalgic feeling by heart without realizing the substance of the archive. But is it the only potential thing that archives can do? Many of researchers, cultural workers, artists, and historians who could have the potential to empowering and reviving the archives, are trapped in confusion, whether the archives can’t be found, lost, damaged, to the complicated administrative procedures to access. How far will it become, the historical realities gap of yesterday, today, and in the future?
​
Archive as a medium to frame or represent the world, or specifically, a nation, ideally can be translated from its limitation as historical realities into contemporary narratives. The output can be the mediation, a way to solve the unsolved injustice, historical tragedy, humanity crime, and many more, by placing it into a new context and activating its productive potential. But, it’s not done yet, even if the archive is now revived and back to its productive potential today, the archiving issue will still be a heavy and lazy domestic homework to do. We are dealing and living in the digital era that makes storage and distribution are easy as plug-in and plug-out, but at the same time, so fragile and intangible. What is the new thing that can be offered by digital archiving today? In fact, the archive transformation is not that easy and finish yet after the revival into a new medium, output, context, and era.
​
So, again, which comes first, art or culture? I would say, art after culture. Art without a good archiving culture is nothing, even a small effort as self-archiving by the artists or makers themselves makes a difference. Which one is more valuable, creativity, knowledge production, or money? To be realistic, three of them are as important as any one of them to support each other, and lead us to another question: how do these three things could transform and work together today, yet be archived as well?
​
​
[INDONESIA]
Arsip dan Realita Indonesia Hari Ini
​
Indonesia menjadi negara pertama di Asia Tenggara yang memiliki institusi arsip film yang didirikan pada 1975, bernama Sinematek Indonesia, yang tidak hanya menyimpan film, tetapi juga majalah-majalah, buku-buku, skrip film, hingga poster dan foto-foto. Setahun setelahnya, pada 1976, Pusat Dokumentasi Sastra H. B. Jassin didirikan, dengan tujuan sebagai tempat pendokumentasian arsip kesusastraan nasional yang dikumpulkan dari berbagai sumber.
​
Keberadaan dua institusi non-profit ini tidak dapat dipungkiri peranan pentingnya sebagai pelopor perawatan, pendokumentasian dan pengarsipan seni dan budaya dalam berbagai medium di Indonesia. Inisiasi ini akan selalu menjadi pekerjaan jangka panjang, yang tidak pernah selesai, sebab arsip berada dimana-mana dan selalu bersifat sementara, arsip merekam kenyataan dari masa lalu, dan pada saat yang bersamaan, membentuk masa kini, dan mempengaruhi masa depan. Dengan kenyataan bahwa terbengkalainya kedua institusi ini: biaya operasional bulanan yang nyaris tidak ada, kurangnya sumber daya manusia yang mumpuni, karyawan-karyawan yang tidak digaji, lupa akan nilai arsip, hingga sepinya pengunjung yang tahu apa itu arsip, membuat jangka hidup arsip makin pendek dan makin dekat dengan ajal kepunahan.
​
Lantas, aktivasi apa yang bisa dilakukan agar arsip bisa diakses publik, sementara ANRI (Arsip Nasional Republik Indonesia) memperjualbelikannya? Apa pula peran Perusahaan Film Negara (PFN) yang mengabaikan film vault berisi ribuan kaleng film selama belasan tahun, yang adalah arsip negara? Bagaimana arsip dan objek-objeknya menerjemahkan realita sejarah ke dalam narasi kontemporer? Apa artinya arsip hari ini bagi penggunanya, teknologi, dan produksi ilmu pengetahuan? Pertanyaan-pertanyaan ini hanya bisa dijawab dengan melihat apa yang berlangsung hari ini.
​
Membicarakan arsip tentu tidak bisa lepas dari metode produksinya dalam produktivitas setiap zaman, Ketika era analog berjaya, di luar produksi film panjang dan dokumenter, opsi akses pada kamera yang dapat ditawarkan industri berkisar pada kamera 16mm dan 8mm, yang menghasilkan eksperimentasi film-film pendek, video rumahan, gambar bergerak eksperimental, hingga animasi menjadi produk yang menarik untuk dikreasikan. Setelah merayakan era hitam putih, eksperimental, dan garda depan, Indonesia ikut masuk dan menikmati era teknologi digital awal, videotape, sembari berkembang dengan pesat ke era gawai pintar. Hari ini, dengan dukungan media sosial, aplikasi pembuat video instan, dan internet, kapanpun kita bisa melihat unggahan video-video pendek jenaka maupun kreatif yang dimaksudkan untuk iseng menghibur, berbagi keluh kesah, mensiasati hidup yang semakin cepat dan instan, tanpa terbatas titik geografis. Apa yang menjadi objek dokumentasi dan video rumahan pada era analog (8mm) pun biasanya tidak jauh berbeda dengan apa yang dapat kita lihat dalam performans-performans dan video pendek di media sosial hari ini. Karena bukankah, semakin kita bisa terhubung dengan konten yang ditawarkan dalam video-video pendek itu, sebagai pelipur lara berbagi nasib, semakin kita dapat mengapresiasinya? Pun tak jarang, berkat era internet, siapapun bisa menghasilkan uang darinya, sebagaimana vlogger-vlogger hari ini. Lantas, mana yang datang lebih dulu, seni atau budaya? Mana yang lebih berharga, kreativitas, produksi ilmu pengetahuan atau uang? Mana yang lebih saling menghubungkan, tren, tradisi atau modernitas? – padahal semua tradisi pada awalnya adalah modern.
Apa yang bisa dilakukan arsip untuk kita hari ini?
Sebagaimana arsip merefleksikan dan mengawetkan masa lalu, ada kalanya kita asyik meromantisasi arsip untuk menjelajahi waktu dan sibuk bernostalgia tanpa sadar substansi apa yang bisa didapat dari arsip itu sendiri. Tapi apakah hanya itu fungsi arsip hari ini? Pekerja riset, budaya, seniman dan sejarawan yang punya potensi menghidupkan arsip sendiri pun hari ini masih sering terjebak dalam ketidakmampuannya mengakses arsip, karena hilang, rusak, birokrasi yang sulit, dan biaya adminitrasi yang tidak terjangkau. Akan bertambah hingga sejauh apa jarak realita masa lalu dan hari ini, di masa depan?
Arsip sebagai pembingkai dan representasi dari dunia, atau lebih spesifiknya, sebuah negara atau bangsa, idealnya bisa diterjemahkan dari keterbatasannya sebagai realita sejarah menjadi narasi kontemporer. Hasil akhirnya bisa untuk mediasi, menagih janji bagi korban tragedi sejarah, kekacauan negara, kejahatan HAM dengan menempatkannya pada konteks baru dan mengaktivasi potensi produktivitasnya menjadi media yang lebih populer dan mudah diakses, juga dicerna.
Tidak selesai disana, sekalipun arsip dapat dihidupkan dan diproduktifkan kembali hari ini, masalah pengarsipan akan tetap mejadi pekerjaan rumah yang begitu domestik dan memalaskan. Kita kini hidup di era digital yang memudahkan penyimpanan dan penyebaran, tetapi pada saat yang sama, begitu rapuh dan tidak berwujud. Hal baru apa yang bisa ditawarkan oleh pengarsipan digital? Nyatanya, transformasi arsip tidak semudah dan selesai setelah memberdayakannya kembali ke bentuk, konteks dan zaman yang baru.
Jadi, manakah yang datang lebih dulu, seni atau budaya? Seni tanpa budaya pengarsipan yang baik, sekalipun itu berupa swa-pengarsipan, seni tidak akan berarti apa-apa di hari esok. Mana yang lebih berharga, kreativitas, produksi ilmu pengetahuan atau uang? Jika harus realistis, ketiganya adalah sama pentingnya dan saling mendukung satu sama lain, yang mengantarkan kita ke pertanyaan baru: bagaimana transformasi ketiganya bisa bekerjasama hari ini, dan terarsipkan untuk masa yang akan datang?
​
[CHINESE]
翻译æ£åœ¨è¿›è¡Œä¸