top of page

 

Segar Bugar

​

Sunday City Tour (2019)

​

Three channels video 17′25″

[EN]

These days, in the digital era, we have another chance to see how Jakarta was evolved through films that are digitized and restored from the celluloid tape. The experience of watching films set in old-time Jakarta is like a refreshing city tour, rather than seeing it stoned and mute in the dusty frames or almost torn apart photo albums.

​

This city tour starts from the era where the post-revolution vibe was so depressive and frustrating. Indeed, the social reality of the 1950s was not as sweet as the euphoria and jargon of independence. The public did not know clearly what they could and had to do to survive, and perhaps still managing to recover from post-war trauma. Afterward, in the 1960s, Jakarta was squeezed by the density of the development and modernization agenda. In the frame of films that are produced at this time, life feels truly good. The future is bright, promising, and as happy as when Dad took us to the city on Sunday morning. We took a ride on a special horse-drawn carriage and sit in front to enjoy the beauty of Jakarta.

​

Nobody would have thought of the 1965-1966 event had ruined this daydream. Mr. Coachman lost his control, but life must go on. And modernization goes to the next stage. When we talk about archives, indeed we are not so fortunate. However, at least, from the little inheritance of cinema that we have, this media works from time to time, recording the role of humans in living, anticipating, and redefining the city and its activities as an arena where every concern and effort to build human civilization is constantly contested.

​

The moving images are shown in this compilation focus on landscapes, buildings, and some of the interiors as a note of geography and place of living. All moving images are taken from feature films produced in Indonesia from 1952 to 1969.

​

This exhibition is a program of DutchCulture supported by The Kingdom of The Netherlands and Museum Bank Indonesia, curated by RUX, and presented by Pusat Dokumentasi Arsitektur.

​

List of feature films:​

Pulang (Basuki Effendi, 1952)
Sampah (Moh. Said H.J., 1955)
Tiga Dara (Usmar Ismail, 1956)
Asrama Dara (Usmar Ismail, 1958)
Amor dan Humor (Usmar Ismail, 1961)
Bintang Ketjil (Wim Umboh & Misbach Jusa Biran, 1963)
Ballada Kota Besar (Wahyu Sihombing, 1963)
Masa Topan dan Badai (D. Djajakusuma & Usmar Ismail, 1963)
Dusun Besar / Big Village (Usmar Ismail, 1969)
Apa yang Kau Tjari, Palupi (Asrul Sani, 1969)

_

​

[IN]

Hari-hari ini, di era serba digital, kita mendapatkan kesempatan lagi untuk melihat bagaimana Jakarta pernah berkembang melalui media film yang dialihmedia dan direstorasi dari gulungan pita seluloid. Pengalaman menonton film-film berlatar Jakarta di masa lalu, bagaikan sebuah wisata kota yang menyegarkan, ketimbang melihatnya geming dan bisu dalam pigura-pigura berdebu atau album-album foto yang nyaris koyak dimakan rayap.

​

Wisata kota ini dimulai dari era dimana hawa paska revolusi begitu depresif dan frustatif. Realita sosial tahun 1950-an memang tidak semanis euforia dan jargon kemerdekaan. Masyarakat tidak tahu jelas apa yang bisa dan harus mereka lakukan untuk bertahan hidup, selain mungkin masih harus memulihkan diri dari trauma paska perang. Setelahnya, pada era 1960-an, Jakarta dihimpit oleh kepadatan agenda pembangunan dan moderninasi. Dalam bingkai film-film di masa ini, rasanya hidup terasa menyenangkan. Masa depan begitu cerah, menjanjikan, dan sebahagia ketika turut Ayah ke kota. Kita diajak naik delman istimewa dan duduk di muka untuk menikmati kecantikan kota Jakarta.

​

Tidak ada yang pernah menyangka peristiwa tahun 1965-1966 membuyarkan mimpi siang bolong ini. Pak Kusir pun tak lagi mampu mengendali kuda supaya baik jalannya. Biar begitu, hidup mesti jalan terus. Modernisasi masuk ke tahap selanjutnya. Kita memang kurang beruntung jika bicara perihal arsip. Walau begitu, dari sedikit warisan sinema yang kita miliki, media inilah yang bekerja dari masa ke masa, merekam peran manusia dalam menghidupi, mensiasati dan meredefinisikan kota dan aktivitasnya sebagai sebuah arena di mana setiap kepentingan dan usaha untuk membangun peradaban manusia terus-menerus dipertandingkan.

​

Gambar bergerak yang ditampilkan dalam kompilasi ini berfokus pada lanskap dan bangunan beserta sebagian isinya sebagai petunjuk geografis dan tempat hidup. Seluruh potongan gambar bergerak diambil dari film-film cerita yang diproduksi di Indonesia pada rentang waktu 1952-1969.

​

Pameran ini merupakan program DutchCulture yang didukung oleh The Kingdom of The Netherlands dan Museum Bank Indonesia, dikurasi oleh RUX, dan dipersembahkan oleh Pusat Dokumentasi Arsitektur.

​

Sumber cuplikan film:​

Pulang (Basuki Effendi, 1952)
Sampah (Moh. Said H.J., 1955)
Tiga Dara (Usmar Ismail, 1956)
Asrama Dara (Usmar Ismail, 1958)
Amor dan Humor (Usmar Ismail, 1961)
Bintang Ketjil (Wim Umboh & Misbach Jusa Biran, 1963)
Ballada Kota Besar (Wahyu Sihombing, 1963)
Masa Topan dan Badai (D. Djajakusuma & Usmar Ismail, 1963)
Dusun Besar / Big Village (Usmar Ismail, 1969)
Apa yang Kau Tjari, Palupi (Asrul Sani, 1969)

bottom of page